Ego and love
Jurnal

Pulvis et umbra sumus

Rien, aku tak tahu apa yang dirasakan Quintus Horatius Flaccus ketika ia melontarkan kata-kata itu pada dunia. Pulvis et umbra sumus, kita tak lain hanya debu dan bayang-bayang.

Tapi aku tahu kalimatnya itu memecahkan banyak gelembung ilusi dari orang-orang yang nalarnya tak mati. Namun selama ini menyembunyikannya demi menyenangkan ego. Ironi, ketika ego yang disenangkan bukanlah ego dirinya. Ia mewujudkan pernyataan dari kehidupan seribu tahun lalu. Ia menjadi keberadaan nyata dari debu dan bayang-bayang.

Aku sangkakan kematian yang dipikirkan Horace, begitu Quintus dinamai di dunia barat. Ego yang jadi perilaku mereka, selalu menamai segala hal sesukanya. Selepas mati kita memang hanya debu dan bayang-bayang.

Bisikanmu kemarin malam, membuatku melihat realita di balik tirai hidup. Kebenaran yang kuketahui sejelas kerikil dalam sepatu, tapi ku acuhkan walau tak bisa kunafikan. Di saat yang sama benakku juga menarik ucapan Quintus dari sela-sela ingatan. Pulvis et umbra sumus. Kita hanyalah debu dan bayang-bayang.

Kamu mengucapkan nama itu, Rien. Semalam, seraya bergelak tawa. Dan aku tahu semutlak cahaya dan kegelapan, kebenaran itu sudah lama ada. Tapi menerimanya, kurasa waktu adalah hal yang masih ku butuhkan.

Aku tahu, Rien. Di peron kehidupan, ia masih duduk menunggu di salah satu bangku besi patri itu. Dan aku juga seutuhnya tahu, dua tiket perjalanan itu satunya untuk siapa.

Aku tak terbiasa dengan cahaya, Rien. masih belum terbiasa. Aku berharap ia mendengar bisik yang kutitipkan pada desiran pucuk cemara pantai senja tadi. Pactum serva, Karin. Sedikit masa lagi. Karena kamu, Rien, dan ia telah tahu jawabnya.

Standard

Leave a comment