Jurnal

Kopi Kampung Halaman

Pagi, Rien. Bagaimana cuaca di sana? Kota kita cerah dalam semburat cahaya matahari pagi ini. Jalan belum seutuhnya kering, sisa rintik subuh tadi masih menggantung di helai-helai daun. Embun masih menghiasi baris-baris rumput dan batang kasar cemara yang berbaris di tepi sungai.

Dua belas tahun, Rien. Barisan cemara itu masih ada. Bahkan sekarang di musim pernikahan, banyak pasangan yang baru mengikat janji silih berganti merekam gambar awal perjalanan cinta mereka di situ. Tapi bangku kayu yang dulu kita sering singgahi sudah lama usang dan hilang.

Aku sedang menyesap kopi, mengecapnya dengan imaji melayang jauh. Kembali menyusuri hari-hari ketika kita masih sibuk berlarian di lorong kampus, dari satu praktikum di fakultas tetangga, menyantap sarapan pagi bersama banyak mereka yang juga sama terbirit-birit mengerjakan laporan parktikum, di bawah majelis pohon rindang, lalu angkat ekor lipat kaki kembali ke kampus kita untuk memburu bangku kuliah paling belakang.

Tak pernah kubayangkan, Rien. Kampus itu dan beberapa tahun bersamamu adalah saat terakhir kita bisa bersantai menikmati hidup. Hitungannya adalah dua tahun sejak kita berhadapan di lorong kampus, aku terpesona pada binar mata bulatmu yang secara mistikal terlihat cipit di balik kaca matamu.

Kukira kampus adalah miniatur kehidupan di luar sana. Kenyataannya justru jauh terjungkal dari yang seharusnya. Hari-hari di balik dinding lingkar kampus adalah peristirahatan sebelum kita tercampak pada kerasnya dunia.

Lepas toga dipasang, ijazah diberi. Seketika kita menjelma dari generasi perubahan dengan idealisme tingkat dewa, menjadi jiwa-jiwa yang terengah-engah mencari tempat. Aku kehilanganmu dua belas tahun lalu. Lalu tak lama aku kehilangan semua mimpi yang pernah kita gurat di pasir pantai, kita pahat di angin, lalu kita kemas dalam ingatan. Aku melepaskan semuanya, Rien.

Kopi ini, dari receh pertama gaji terakhirku. Pagi tadi, diungkapkan dengan berbalut senyum basa basi, aku tak lagi punya kewajiban datang mendaftarkan sidik jari di gedung beton bertingkat itu. Lebih cepat dari sangkaanku.

Melepas seragam, kaus berkerah, celana kargo ini ternyata masih muat. Sandal jepit. Menikmati udara pagi Beurawe yang bercampur uap Sanger dan wangi lontong pecal. Asap rokok mengapung tak mampu diusir kipas yang berputar lemah, mungkin dia pusing dengan segala racun dan omongan kosong politik.

Kukira aku merasa lega, Rien. Tapi anehnya yang terasa adalah hampa. Aku bingung tentang hari-hari ke depan. Peta dan kompas arahku tak berfungsi. Beberapa bulan ini aku terlanjur biasa dengan segala rutinitas. Terbiasa akhir bulan akan selalu ada sedikit rupiah untuk mengisi pundi-pundi. Tak perlu berpikir, hanya ikut aturan, termasuk ikut aturan yang membelokkkan aturan agar tetap dinilai sebagai sesuai aturan.

Kopi pagi ini seperti pulang kampung. Setelah lama merantau. Pulang, tapi sejujurnya tak tahu kemana dan dimana harus melangkah. Kampung halaman mendadak seasing kota rantau. Dan bisakah kamu bayangkan bila ini lebih dari enam bulan, tapi bertahun-tahun, Rien.

Antara cemas dan bersyukur. Di situ aku berada sekarang, Rien. Tapi sudahlah, semua ada tempatnya. Sekarang kita cicipi dulu kopi kampung halaman ini, sepiring lontong pecal, dan satu hari penuh untuk memikirkan soal besok.

Standard

2 thoughts on “Kopi Kampung Halaman

Leave a comment